Rabu, Februari 03, 2010

Jika Aku Sebuah Bintang [part 1]

Namaku Firza Lintang Prameswari, biasa dipanggil Zaza oleh teman-teman, dan Lintang oleh keluarga. Umur 16 tahun. Bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungku, Iqbal Hadi Prasetya, atau Iqkho, kalo aku sih manggilnya mas Pras. Umur 22 tahun, seorang web master di sebuah perusahaan web developer. Orangnya ganteng, tapi nyebelin! It's my opinion. Perfect banget karena kakak pertamaku ini orang pinter.
Kakakku yang kedua, Karya Ade Prasetya, ato Arya, aku manggilnya mas tio, seorang penggila seni dan jago nulis. Umur 18 tahun, dia seorang mahasiswa semester tiga di sebuah universitas swasta di kotaku, fakultas Seni dan Ilmu Budaya. Dia pengin seperti Picaso, pelukis favoritnya.
Dua kakakku memiliki bakat yang luar biasa di bidang masing-masin. Sementara aku? Aku bukan seorang yang hi-tek ataupun pecinta karya seni. Aku berbeda dengan kedua kakakku, aku hanyalah aku, satu-satunya kelebihan yang kupunya adalah bersikap ceria. Ya, ceria dalam suasana semencekam apapun.
Bapakku, seorang petani sayur. Dan ibuku, dia seorang super mom. Yang selalu ada untuk keluarga.

"Lin, bangun ndok. Sudah subuh ini." sayup-sayup terdengar suara ibuku membangunkanku.
"Masih ngantuk bu" kutarik lagi selimutku hingga menutupi kepala
"Owalah nduk, nanti kamu dimarahi bapakmu. Ayo cepet bangun, trus sholat subuh. Apa minta masmu yang bangunin? Ancam ibu, karena aku tidak bereaksi.
Mendengar ancaman ibu yang mengatakan 'masmu' aku langsung bangun dan duduk.
"Jangan bu, ini aku bangun. Mas pras kalo bangunin aku galak bu" masih ngantuk kupaksa turun dari ranjang
"Ya wis, cepet sholat dulu, jangan lupa rapiin tu kamarmu, Ibu ndak mau rapiin, wong kamu sudah gede. Terus kamu mandi, siap-siap ke sekolah." ibuku pergi, sepertinya ke dapur. Seperti biasa, setiap pagi ibu dibantu mbok Min, menyiapkan sarapan untuk keluarga.

Pukul 06.00 aku selesai siap-siap, tinggal sarapan.
Aku pergi di ruang makan, di sana sudah ada bapak, yang seperti biasa membaca koran paginya sambil sesekali menyeruput kopi. Mas Pras, yang selalu dengan laptopnya, dan juga Mas Tio yang selalu makan pisang goreng.
Aku sampai di kursiku, kutarik dan aku duduk. Lalu kuteguk segelas besar coklat hangat di depanku.
"Hari ini ladang Bapak panen ya?" tanyaku sambil mengunyah pisang goreng.
"Iya, kamu mau ikut ke ladang?" bapak menurunkan korannya dan beralih duduk di sebelahku.
"kalau aku diijinkan bolos sih mau pak, haha" kuteguk lagi coklatku.
"Jangan harap" jawab bapak sambil mengacak rambutku, lalu kembali ke kursinya.
"Ah Bapak! Susah ini menata rambutnya, jadi berantakan lagi" aku memberenggut.

"Dek, nanti ikut bantuin mas Tio ya di galeri, mau nggak?" mas Tio yang dari tadi asik mengunyah pisang goreng akhirnya bersuara.
"Ada imbalannya nggak?" jawabku tak acuh.
"Nanti tak beliin coklat deh satu. Mau ya?" rayu mas Tio
"Hah, satu biji doang mah aku bisa beli sendiri! Tiga biji, gimana mau ga?" aku mengajukan tawaran.
"Maruk deh kamu dek, dua saja ya, ya?" mas Tio mengajakku bernegosiasi.
"Oke, tapi nanti aku diantar sampe gerbang sekolah, deal?" tawarku lagi.
"Deal!" jawab mas Tio, dan kami berjabat tangan.

"Adoh mba Lintang, itu coklat satu gelas besar kok ya dihabiskan dulu, wong mbanya belum sarapan" teriak mbok Min, yang membawa lauk dari dapur di susul oleh ibu.
"hehe, tadi kan dingin banget mbok, ya dihabisin jadinya. Mana telur ceplok punya Lintang mbok?" tanyaku pada mbok Min.
"Ini mba." mbok Min menyodorkan piring berisi telur untukku.
"Terima kasih" jawabku, kini aku mulai sarapan pagiku.

Setelah selesai sarapan, aku pamit ke Bapak, Ibu, mas Pras, dan mbok Min, lalu berangkat ke sekolah diboncen mas Tio pake motor vespanya.
Akan seperti apakah hariku kali ini..............????
[to be continued]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar